Studi kita tentang teori Marxis akan dimulai dengan pengamatan terhadap
filsafat Marxisme, yaitu materialisme
dialektis. Kita harus mulai dari filsafat karena filsafat memberikan landasan
bagi pemahaman kita tentang ekonomi politik, strategi politik dan masalah
teoretis lain yang kita hadapi
dalam pergerakan. Filsafat
memberikan cara pandang dan metode untuk menelaah semua persoalan yang dihadapi oleh pergerakan. Materialisme
dialektis juga memberikan jangkar ilmiah yang kokoh tempat
berpijaknya aktivitas kita dalam pergerakan.
Untuk memulai pembahasan ini kita harus menjawab pertanyaan: Apa itu
filsafat? Secara singkat filsafat dapat dikatakan sebagai teori umum tentang
kenyataan. Filsafat meliputi penelahaan terhadap berbagai hal mendasar seperti
hubungan antara berpikir dan keadaan (thinking and being); bagaimana
segala sesuatu berubah dan berkembang; apakah ada kehidupan lain setelah tubuh
mati atau tidak; dan sebagainya.
Singkatnya, filsafat mengamati semua masalah yang berurusan dengan alam, masyarakat dan pikiran. Karena itulah
filsafat menjadi titik tolak yang sangat baik untuk studi kita. Pengetahuan
kita tentang ekonomi politik yang sudah dimiliki kini bisa diperiksa kembali
landasan filsafatnya, apakah sudah berpijak
pada cara pikir yang konsisten dan tepat
atau belum. Selama
perjalanan sejarah manusia,
sudah tak terhitung jumlah filsuf di dunia. Mulai dari
pemikir-pemikir dalam masyarakat Yunani seperti Aristoteles, Plato, Socrates dst-nya
sampai pada pemikir-pemikir modern seperti John Stewart Mill dan Bertrand Russell. Dalam studi ini, kita tidak
akan mengulas semua pikiran yang pernah dijabarkan manusia selama
hidupnya, juga tidak sebagian dari mereka seperti yang lazimnya
dilakukan oleh studi-studi filsafat.
Titik berangkat kita adalah filsafat Marxis yang merupakan ungkapan filsafat yang paling maju
dalam sejarah manusia.
Atas dasar apa kita bisa
mengatakan bahwa Marxisme adalah ungkapan filsafat tertinggi yang
pernah dibuat manusia? Pertama, karena akar dari materialisme dialektis ada
pada proletariat dan dengan karena itu,
filsafat tersebut juga menjadi cara pandang dunianya. Proletariat tidak
berkepentingan untuk memisahkan
masyarakat dalam kelas-kelas atau
mempertahankan pemisahan yang sudah ada.
Proletariat senantiasa berusaha memahami
dunia dari sudut yang obyektif dan ilmiah. Semua aliran
filsafat terdahulu terikat pada pandangan
subyektif yang berusaha mempertahankan struktur kelas yang
eksploitatif, tentunya demi
keuntungan kelas penguasa. Filsafat Marxis-Leninis adalah
filsafat pertama yang secara utuh dan lengkap
bersandar pada kelas yang tidak
punya kepentingan menindas dan
dengan begitu mewakili cara pandang
obyektif dan revolusioner di
dunia. Kenyataan bahwa Marxisme-Leninisme terang-terangan merupakan pandangan
yang membela tujuan dari kelas buruh sama
sekali tidak bertentangan dengan asasnya yang obyektif dan ilmiah.
Justru karena filsafat ini bersandar pada kelas
buruh, maka ia dapat memberikan pandangan ilmiah terhadap kenyataan.
Marx dan Engels suatu saat mencatat:
"Sama halnya seperti filsafat menemukan senjata
materialnya di dalam proletariat, maka proletariat menemukan senjata spiritual
mereka dalam filsafat.” [Marx dan Engels, dikutip dalam Handbook of Philosophy,
disunting oleh Howard Selsam, Proletarian Publisher, 1949]
Namun, "senjata spiritual" yang disebut Marx di sini sama sekali bukan
berarti "kepercayaan" atau optimisme berlebihan. Filsafat di
sini justru berfungsi sebagai alat intelektual -- khususnya cara pandang yang revolusioner
dan ilmiah -- yang sangat penting untuk
menjalankan tugas dan strategi di dalam pergerakan.Tentu saja, kebutuhan untuk
memahami filsafat Marxis semakin terasa saat ini jika dibandingkan sekitar
seratus tahun lalu. Rumitnya
perkembangan internasional dengan situasi pertentangan kelasnya, dan juga perbedaan-perbedaan di kalangan revolusioner sendiri, makin mendesakkan kebutuhan akan adanya
pemahaman yang seragam terhadap filsafat Marxis. Sayangnya,
banyak orang yang menamakan dirinya revolusioner
meniadakan kebutuhan ini, filsafat sering
diabaikan dan diremehkan dalam gerakan revolusioner yang luas.
Kebanyakan orang menyingkirkan
persoalan filsafat ini karena dianggap kebutuhan akan
jawaban-jawaban terhadap persoalan langsung dan kongkret itu jauh lebih
penting. Pendekatan pragmatis seperti
ini telah meniadakan atau mengecilkan
arti dari filsafat Marxis
sebagai alat yang sangat penting
bagi kelas proletariat. Sebaliknya, banyak orang lain yang
terlalu terpaku secara dogmatik terhadap
filsafat ini, dan mengabaikan bahwa yangterpenting bagaimanapun adalah
kemampuan menelaah dan menyelesaikan
persoalan. Hal seperti ini memerlukan studi teori dan
juga belajar terus menerus dari
praktek politik sehari-hari, secara bersamaan, tanpa
mengunggulkan yang satu di atas
yang lain. Seperti dikatakan
Lenin: "Tidak akan ada revolusi
tanpa teori
revolusioner." Dalam kesempatan lain dikatakannya bahwa
teori revolusioner juga hanya mungkin muncul dari gerakan revolusioner itu sendiri.
Filsafat dan
Kelas
Untuk mempelajari filsafat
Marxis, penting bagi kita untuk
membelejeti beberapa kesalahpahaman
terhadap filsafat yang amat sering
terjadi. Kiranya kesalahpahaman yang paling sering terjadi dalam masyarakat adalah bahwa filsafat hanya ada
di benak
para pemikir besar, dan tidak ada hubungannya dengan kenyataan
sehari-hari. Dalam kenyataannya, filsafat sama sekali bukan milik segelintir
pemikir besar, tapi cerminan dari organisasi sosial
masyarakat dan watak dari produksi sosial tertentu. Walaupun filsafat diungkapkan
oleh individu tertentu, isinya jelas
dipengaruhi oleh cara paandang dan kepentingan kelas dari individu tersebut. Dengan kata lain, dalam memberikan gambaran tentang
kenyataan, filsafat sudah
mengambil posisi sosial tertentu
terlebih dulu. Mungkin saja benar bahwa kebanyakan filsafat ada
di luar
jangkauan masyarakat luas (sering dibilang bahwa filsafat itu mengawang-awang, tidak menyentuh kenyataan
dst-nya), tapi yang jelas bahwa filsafat itu berakar pada kondisi sosial
tertentu. Ini hal yang tidak mungkin dibantah.
Filsafat telah hadir di dunia begitu manusia punya
waktu untuk melihat kembali apa yang terjadi di dunia. Pengembangan kemampuan pikiran
manusia --seperti filsafat,
politik, kebudayaan -- hanya
mungkin ada kalau tidak semua orang secara
utuh terikat pada kebutuhan memenuhi kebutuhan hidup. Dalam masyarakat primitif, hanya
ada sedikit waktu untuk
berfilsafat, karena kebutuhan ekonomi
cenderung menyerap seluruh kerja
dan energi manusia. Dalam usaha menjelaskan teka-teki kehidupan
--kenapa hujan jatuh dari langit,
apa yang membuat matahari bersinar-- manusia hanya
dapat memberi penjelasan yang
mistis sifatnya. Mereka sama
sekali tidak punya pemahaman ilmiah terhadap
hal-hal ini dan karenanya mereka cenderung memberikan penjelasan
spiritual terhadap hal-hal yang
sesungguhnya material (misalnya, dewa
matahari, dewa hujan, dsb-nya). Dengan begitu,
masyarakat didominasi atau
dikuasai mitologi --yang pada
dasarnya adalah penggantian kenyataan
dengan fantasi-- ketimbang filsafat.
Dalam perjalanannya, manusia berhasil membuat
terobosan-terobosan ilmiah dan
dapat menggunakan sejumlah pengetahuannya untuk melengkapi caranya
memandang dunia. Tidak ada gunanya lagi
memberikan penjelasan spiritual terhadap
segala sesuatu, karena penjelasan ilmiah
sudah dikembangkan untuk gejala-gejala tertentu (misalnya, sebab adanya api, apa yang membuat tumbuhan
berkembang). Hasilnya, masyarakat mulai berpaling dari mitologi kepada filsafat. Namun, karena keterbatasan pengetahuan,
manusia belum sepenuhnya dapat meninggalkan penjelasan spiritual.
Mistisisme tetap menjadi kekuatan
berpengaruh dalam filsafat, dan akhirnya
berkembang menjadi agama-agama yang lebih kompleks sifatnya dalammasyarakat
modern (Yudaisme, Katolisisme, dan lainnya).
Ketika kemanusiaan itu berkembang, demikian pula masyarakat kelas dan penindasan kelas. Akhir
dari masyarakat primitif menandai
awal dari zaman baru di mana manusia
dibagi-bagi menjadi penguasa dan
yang dikuasai. Ketika hal ini muncul,filsafat
mulai mencerminkan posisi kelas dan orientasi kelas. Dapat di-mengerti bahwa filsuf
kerajaan mencerminkan kepentingan kelas penguasa. Seperti dikatakan Marx dan Engels, "Ide
kelas penguasa dalam zaman apapun adalah ide yang berkuasa; yaitu,
kelas yang merupakan penguasa kekuatan material dalam masyarakat, pada saat yang sama adalah kekuatan intelektual
yang berkuasa. [Marx & Engels,The German Ideology, dalam Selsam &
Martel, Reader in Marxist Philosophy, International Publisher]
Filsafat dari semua masyarakat --sampai sekarang ini -- adalah refleksi intelektual terhadap
kerangka kelas tertentu dan kondisi sosial. Misalnya, dalam masyarakat
perbudakan pandangan sosial yang
dominan adalah "warga" (citizen). Pandangan
ini mengandung aspirasi dari kelas tertentu, yaitu
kelas pemilik budak. Pandangan
ini mengunggulkan individu untuk memiliki sesuatu --tanah dan juga manusia--
dan untuk terlibat dalam kegiatan politik
dan intelektual masyarakatnya. Karena itulah masyarakat perbudakan mengembangkan
demokrasi hanya untuk
para pemilik budak. Filsafat
mereka menjadi kode etik bagi
kelas pemilik budak. Sama
halnya, filsafat yang dominan
dalam zaman feodal dapat
diartikan sebagai pembenaran terhadap hirarki feodal yang ketat.
Terutama dikembangkan oleh gereja Katolik, cara
pandang ini mengembangkan cara
pandangan statis tentang tata susun
masyarakat. Tidak heran bahwa
dalam cara pandang ini petani penggarap
menempati urutan paling bawah sementara raja dan bangsawan lainnya ada di tingkat paling atas.
Ini bukan untuk mengatakan bahwa filsafat itu hanyalah akal-akalan penguasa
untuk mengelabui mereka yang tertindas. Filsafat berakar dalam
kondisi sosial yang nyata di setiap
zaman dan karena itu
selalu terbatas pada tingkat pengetahuan
manusia.
Dalam periode sejarah manapun tidak akan mungkin dibuat analisis obyektif terhadap
semua gejala alam dan gejala
sosial, karena manusia tidak
cukup pengetahuannya untuk memahami semua hal. Pada batas-batas kemampuan mereka menganalisis dunia, maka
analisis ini diwarnai oleh
kondisi kelas dan oleh cara
berfungsinya masyarakat selama
ratusan dan bahkan ribuan tahun. Singkatnya, tiada pikiran
di dunia ini yang terlepas dari
kondisi sosial.
Semua pikiran, dengan cara berbeda-beda jelas dipengaruhi kondisi sosial. Lebih lanjut, seluruh
masyarakat tak pernah secara utuh dan
lengkap di-satukan di bawah satu filsafat tertentu. Sering terjadi perdebatan filsafat di kalangan kelas
penguasa sendiri, dan juga di antara kelas-kelas. Dalam
masyarakat perbudakan, misalnya, debat filsafat muncul antara sayap progresif
dan reaksioner dari kelas penguasa. Plato mengungkapkan
kepentingan dari aristokrat pemilik budak
yang reaksioner menentang pandangan
dialektis, yang materialis tapi
primitif dari Demokritus dan Heraklitus.
Di pihak lain, Aristoteles berulangkali mengkritik teori-teori idealis dari
Plato dan menjunjung pendekatan yang lebih
materialis untuk memahami dunia. Jadi, sekalipun kedua alur pikiran ini
berakar pada kelas pemilik budak,
keduanya tidak mengembangkan cara pandang filsafat yang
sama.
Ketika kaum borjuis
muncul menentang kekuasaan
feodal, mereka dipersenjatai
dengan filsafat baru. Cara pandang
borjuis mengutamakan kebebasan
individu, dengan mengatakan bahwa tidak ada
orang yang sudah terikat pada nasib, tapi sebaliknya setiap orang dapat bekerja sesuai keinginannya untuk maju.
Perkembangan ini tercermin secara religius dalam debat antara Katolisisme dan Protestanisme. Sebenarnya, cara pandang
Protestan adalah kebutuhan kaum
borjuasi untuk mematahkan
pembatasan-pembatasan yang
dibuat oleh feodalisme, agar bebas membuat barang, agar
bebas memasuki pasar dan mengambil keuntungan.
Para pemikir abad Pencerahan (Eropa abad 18) adalah filsuf-filsuf borjuis. Mereka menulis tentang
pentingnya "kebebasan" dan "kemerdekaan" dari sudut pandang
ekonomi, politik dan intelektual. Para pemikir ini juga menjunjung tinggi
kekuatan akal yang begitu
besar dari manusia. Mereka memandang
pikiran manusia sebagai kekuatan
besar, yang sanggup membawa perubahan di
dunia. Tetapi, walaupun pemikir
Abad Pencerahan ini, seperti Voltaire,
Diderot dan Hegel mengembangkan pengertian tentang
pentingnya "kebebasan",
"kemerdekaan", dan
"akal", filsafat mereka
juga harus dilihat dalam konteks aspirasi borjuis. Seruan akan kebebasan
diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dari kelas feodal yangmembuat sebagian
besar penduduk -- dan khususnya
kaum borjuis sendiri -- terikat secara ekonomi dan politik.
Mereka memajukan akal sebagai
bagian dari proses mengkritik
dan menggerogoti batasan-batasan
ekonomi, politik dan intelektual yang
dihasilkan keterbelakangan feodalisme.
Jelas bahwa filsafat senantiasa harus
ditempatkan dalam konteks sosial
dan kondisi kelas. Walaupun bayangan kita
tentang filsafat itu sebagai
sesuatu yang seakan lepas dari kenyataan, kita harus
tahu bahwa filsafat hanya dapat
dimengerti sebagai sesuatu yang
sangat erat ikatannya dengan kondisi kongkret. Lebih lanjut, sejarah pertentangan filsafat bukan
hanya debat antara gagasan-gagasan yang mengasyikkan,
tapi cerminan dari pertentangan kelas
dan kondisi kelas. Seperti kita lihat, kelas-kelas yang tertindas dalam
masyarakat tertentu sering
mengembangkan cara pandang yang menentang filsafat penguasa --
contohnya, pikiran kaum borjuis yang
muncul menentang tata susun feodal.
Sama halnya, filsafat Marxisme-Leninisme adalah bagian dari pertentangan kelas
pada masa sekarang.
Materialisme dialektis dirumuskan
dalam periode mana kontradiksi dan ketidakmampuan cara produksi kapitalis menjadi jelas. Filsuf borjuis,
dengan seruan mereka tentang "kebebasan" dan "kemerdekaan"
tak lagi memainkan peran revolusioner
dan tak dapat menjelaskan kegagalan dari cara produksi yang baru itu. Filsafat borjuis
mengunggulkan kebebasan individu untuk
terlibat dalam produksi, pertukaran dan
penghisapan hasil kerja orang
lain; dan dengan begitu memberikan alasan
dasar bagi kapitalisme. Titik berangkat dari
filsafat Marxis adalah melihat
kenyataan real dan material sebagai hal utama
dan memahami bahwa masyarakat
manusia, gagasan dan nilai berangkat dari kondisi material tsb. Dengan begini, filsafat
Marxis dapat membuka selubung yang menutupi realitas obyektif
dari penindasan dan penghisapan
kapitalis.
Tapi filsafat Marxis juga berbicara untuk kelas tertentu --proletariat. Filsafat
Marxis menyediakan alat
untuk mengenali proletariat sebagai obyek dari penindasan kapitalis,
dan dengan begitu mendukung
perjuangan proletariat menentang penindasan. Lebih lanjut,
filsafat Marxis tidak memberikan
pandangan yang statis tentang dunia, seperti yang dilakukan oleh
filsafat dari zaman feodal dan
perbudakan. Salah satu unsur kunci dari filsafat Marxis adalah
mengenali perubahan dan
pertentangan di dunia, yaitu bahwa segala sesuatu senantiasa
bergerak dan bahwa kontradiksi dapat
dipecahkan sehingga manusia dapat bergerak ke tingkatyang lebih tinggi. Dengan
begitu, filsafat Marxis membantu mengenali
proletariat bukan hanya sebagai
korban dari penindasan kapitalis, tapi
juga sebagai agen perubahan.
Bersandar pada kenyataan bahwa proletariat sebagai kelas
bertanggungjawab pada keseluruhan produksi, filsafat Marxis melihat kelas
ini sebagai kekuatan yang dapat
menghancurkan tata kapitalis dan menghadirkan cara produksi yang baru
--sosialisme-- di dunia.
Marxisme:
Pembalikan Revolusioner dalam Hubungan Antara Filsafat dan Ilmu.
Di atas kita
telah mencatat arti penting dari
filsafat Marxis sebagai alat
memahami kondisi obyektif yang
eksploitatif dari kapitalisme dan sebagai "senjata spiritual"
bagi proletariat dalam perjuangan mereka menentang kapitalisme dan demi sosialisme.
Kita dapat memperdalam pengertian
ini, pengertian tentang signifikansi revolusioner dari filsafat Marxis dengan mengamati bagaimana filsafat
ini, untuk pertama kalinya dalam
sejarah, menggabungkan filsafat dengan ilmu.Ilmu berbeda
dari filsafat karena ilmu hanya
memberikan pengetahuan
tentang wilayah khusus dari
alam atau masyarakat, sementara filsafat berusaha memberikan gambaran
menyeluruh dari hukum-hukum alam, masyarakat
dan pikiran. Ilmu, yang menggunakan
metode investigasi yang empiris dan teoretis, mempelajari bidang tertentu seperti biologi, fisika, sejarah dan
antropologi. Ilmu mengambil kesimpulan
langsung dari penyelidikan terhadap alam dan masyarakat, dan menguji kebenaran
kesimpulan ini melalui praktek --dan
bukan hanya "dalam pikiran". Sumbangan yang beragam dari para ilmuwan dan filsuf terhadap
pengetahuan manusia dapat segera dilihat
dengan membandingkan ilmuwan
seperti Galileo, Newton, Darwin dan Einstein dengan filsuf
macam Plato, Thomas Aquinas dan Hegel. Namun, terlepas dari pembedaan di antara
kedua bidang ini, juga ada hubungan yang
sangat erat. Dalam hubungan ini filsafat
melingkupi pengetahuan tertentu yang diperoleh dari ilmu ke dalam pandangan dunia dan metodologi yang lengkap, dan dengan
begitu menyediakan kerangka teoretis yang umum demi kemajuan ilmu. Jika hubungan
ini dikacaukan pada salah
satu sisi, maka
kesalahan fatal adalah akibatnya.
Tidak ada orang yang memahami hubungan antara ilmu
dan filsafat lebih ketat daripada Marx,
yang pada saat bersamaan
adalah seorang ilmuwan sosial
yang cemerlang sekaligus filsuf revolusioner. Marx sekaligus
menghasilkan ilmu sejarah dan masyarakat
serta filsafat yang merangkum
hukum-hukum paling umum dari ilmu ini.
Seperti telah kita catat, cara pandang dari mayarakat primitif terutama
berlandaskan pada mitologi karena pengetahuan ilmiah tentang dunia pada saat itu masih bersifat minim.
Secara bertahap, saat
pengetahuan ilmiah makin mendalam,
masyarakat mulai berpaling dari
mitologi. Namun, mistisisme terus merupakan kekuatan dominan dalam cara pandang
masyarakat perbudakan dan feodal.
Dalam mistisisme dunia dijelaskan
sebagai hasil kerja kekuatan spiritual, seperti dewa matahari,
bulan, raja laut, dst-nya. Jadi,
sebelum ilmu itu ada, yang ada itu
filsafat. Karena itulah, untuk jangka waktu yang lama filsafat dianggap
sebagai "ilmu dari semua
ilmu", yang mencakup semua
bidang pengetahuan manusia dan
bisa memberikan tuntunan dengan mengacu pada "prinsip pertama". Ketika
muncul kemajuan ilmu yang
hasilnya menentang filsafat yang ada, maka sering terjadi pertentangan
tajam, misalnya dalam kasus Galileo,
yang kemajuan ilmiahnya dalam memahami bumi dan alam semesta bertentangan
dengan cara pandang Katolik.
Perkembangan kapitalisme, bagaimanapun menjadi landasan bagi
kemajuan-kemajuan yang dahsyat dalam
bidang ilmy. Pengembangan kekuatan produksi
memungkinkan manusia mendapat
pengetahuan ilmiah yang lebih
besar tentang alam dan kemanusiaan. Terlepas dari semua kemajuan ilmu yang
dicapai oleh kaum borjuis, filsafat borjuis
secara umum menghadirkan ilmu dan filsafat sebagai
dua hal yang berdiri
terpisah. Misalnya,
sekalipun para ilmuwan borjuis dituntut mencari fakta-fakta
obyektif dalam kerja ilmiah mereka untuk
menghasilkan sesuatu, pandangan filsafat
mereka kadang sangat kentara
masih diselubungi mistisisme
(kepercayaan terhadap dukun,
kekuatan spiritual, dsb-nya). Lebih
lanjut, filsuf borjuis
terus menghasilkan karya-karya
abstrak (tentang sejarah, politik, etika, logika formal, dst-nya)
yang gagal menjelaskan sesuatu atau juga
bertentangan dengan penemuan ilmu
modern. Banyak kekeliruan
mendasar yang muncul karena
adanya pemisahan antara filsafat dan ilmu oleh kaum borjuis menyatakan bahwa filsafat yang menyeluruh itu tidak
diperlukan dan bahwa pengetahuan manusia hanya perlu dilandaskan pada
akumulasi (pengumpulan) fakta-fakta ilmiah yang makin banyak; kebutuhan
akan tinjauan umum terhadap realitas sama sekali diabaikan. Di pihak lain, kita menghadapi
masalah dogmatisme yang melandaskan diri
pada "filsafat" tapi tidak
didukung oleh pembuktian ilmiah. Kedua
kecenderungan ini senantiasa gagal
menjelaskan realitas secara utuh
--sebuah proses yang memerlukan
pemahaman tentang hubungan yang tepat, dan membuat filsafat bergantung
pada penyelidikan ilmiah serta
menggunakan kerangka yang disediakan filsafat untuk mengarahkan dan
membimbing penyelidikan.
Inilah yang dicapai Marxisme dan menghasilkan revolusi dalam
filsafat dengan mengubah hubungannya
terhadap ilmu. Ini adalah revolusi yang
sangat penting, yang digambarkan
Engels sebagai "akhir dari
semua filsafat dalam pengertian yang diterima
sampai sekarang ini." Marx membuat filsafat bergantung pada ilmu,
dengan begitu mematahkan praktek lama dari semua filsuf spekulatif yang mencoba menempatkan filsafat mereka di
atas ilmu. Buktinya adalah ekonomi
politik Marx, yaitu ilmu yang disusun dari penyelidikan empiris dan teoretik tentang ekonomi kapitalis.
Dari ilmu ini, Marx
menarik kesimpulan umum tentang
masyarakat yang kemudian menghasilkan rumusan tentang hukum-hukum gerak
masyarakat manusia, atau juga dikenal dengan nama materialisme historis.
Pada saat bersamaan, materialisme historis menerapkan prinsip-prinsip umum dari materialisme
dialektis kepada masyarakat manusia.
Tapi titik berangkatnya tetap investigasi langsung terhadap kenyataan.
Materialisme dialektis harus
dipahami sebagai tinjauan
umum terhadap hukum-hukum gerak
yang nyata di dunia. Jelas
bahwa pemahaman terhadap hukum-hukum ini akan memudahkan kemajuan kerja
ilmiah, tapi hukum-hukum itu sendiri tidak
dapat menciptakan pengetahuan
baru tanpa diterapkan dalam bidang ilmu tertentu. Filsafat Marxis dengan begitu bersandar pada
ilmu, membuat kesimpulan dari
ilmu dan memasukkannya ke
dalam cara pandang dunia
dan metodologi yang konsisten. Filsafat Marxis sudah
meninggalkan filsafat dalam pengertian
spekulatif. Tidak ada lagi filsafat alam
yang berdiri di atas ilmu, tapi yang
ada adalah ilmu alam.
Hukum-hukum paling umum dari ilmu
alam diungkapkan dalam materialisme
dialektis. Tidak ada lagi
filsafat sosial, yang berdiri
di atas ilmu, tapi yang ada adalah
ilmu sosial
(Marxisme-Leninisme). Hukum-hukum paling
umum dari ilmu sosial diungkapkan dalam materialisme
historis.
Prinsip-prinsip
Dasar dari Filsafat Marxis
Kita sudah membahas arti penting revolusioner dari filsafat Marxis, dengan mengamati isinya secara umum. Sekarang
kita akan mengamati cara pandang ini
lebih rinci, dengan menelaah komponen
utama dari materialisme dialektis. Pertama-tama filsafat Marxis mempertanyakan
mana yang lebih utama: benda (matter)
atau ide? Singkatnya, aspek materialis dari materialisme dialektis menyatakan bahwa benda lebih utama
dari ide. Dunia dapat dipahami, tapi kehadirannya terpisah dari kesadaran
manusia. Artinya, walaupun dipikir atau
tidak, kenyataan benda itu
tetap ada. Contohnya begini, sekalipun
kita tidak memikirkan air
yang senantiasa mengalir ke
tempat yang lebih rendah,
kenyataan itu tetap berlangsung.
Sekalipun kita tidak tahu bahwa matahari terbit di timur,
kenyataan itu tetap berlangsung. Sekalipun keterangan ini cukup jelas, masalah
benda versus ide ini tetap menjadi
jantung pertentangan filsafat di masa lalu, dan berlanjut terus sebagai fokus
perdebatan filsafat. Idealisme, cara
pandang yang berlawanan, menyatakan bahwa hal yang ada di
dunia itu semata benda dalam pikiran,
dan bukan benda material.
Dalam pandangan idealisme dunia hanya hadir dalam pikiran orang, atau dengan kata lain bahwa dunia
diciptakan oleh kekuatan spiritual
tertentu. Engels mengungkapkan perbedaan antara materialisme dan idealisme
seperti ini: "Masalah besar yang
paling mendasar dari semua
filsafat, dan terutama filsafat
dewasa ini, berkisar pada hubungan
antara berpikir dan ada. Para filsuf
terbagi dalam dua kubu menurut jawaban mereka terhadap persoalan
tersebut. Mereka yang
mengunggulkan ide di atas dalam, dan dengan begitu pada akhirnya
berasumsi tentang penciptaan
dunia... membentuk kubu
idealisme. Yang lain, yang melihat alam lebih utama, tergabung
dalam beberapa aliran
materialisme... Ini adalah pengertian
paling dasar dari kedua istilah itu,
idealisme dan materialisme.”
[Engels, Ludwig Feuerbach, International Publishers, 1978, hlm. 20-1]
Walau filsuf materialis sudah
menulis sebelum mereka, Marx dan Engels lah yang pertama membuat elaborasi
materialisme dari segala segi,
sambil membuat kritik yang
menyeluruh terhadap
idealisme. Dalam pencarian
mereka akan prinsip-prinsip yang melandasi proses
sosial dan alam, jelas bagi
Marx dan Engels bahwa idealisme hampir-hampir tidak
menghadirkan pandangan ilmiah tentang dunia, dan nyata bisa berkembang hanya
karena ketidakpedulian manusia terhadap
kekuatan yang menghasilkan proses tertentu. Idealisme, sebagai cara pandang
sosial, bisa menuju fatalisme -- idealisme sering mengatakan bahwa manusia
tidak dapat mengubah dunia di hadapan
mahluk spiritual yang luar biasa
kekuasaannya. Di sisi lain idealisme dapat menuju pada voluntarisme --pandangan bahwa keinginan manusia dapat
mengubah segala sesuatu, tanpa
mempedulikan kondisi materialnya. Jelas bahwa
fatalisme dan voluntarisme mencerminkan
kekacauan idealisme dalam
memahami hubungan antara benda dan ide.
Idealisme adalah cara pandang
filsafat yang dominan dalam perjalanan sejarah,
karena ketidaktahuan dan
ketidakpedulian manusia sendiri.
Kemunculan kapitalisme, yang beriringan
dengan perkembangan ilmu dan teknologi, banyak membantu dalam mengalahkan
kekuatan idealisme dan meletakkan basis
bagi materialisme. Banyak filsuf
borjuis di masa awal kapitalisme adalah
pemikir materialis. Pertentangan antara idealisme dan materlisme,
bagaiamapun tetap berlangsung sampai
saat ini. Ilmuwan borjuis tidak menerapkan materialisme
secara konsisten terhadap
kenyataan sosial, khususnya kalau menganalisis ilmu sosial (sejarah,
antropologi dsb-nya). Dalam
bagian-bagian berikut akan kita amati
pertentangan idealisme dan
materialisme lebih cermat, dengan mengacu pada perdebatan di
masa lalu dan juga masa kini. Komponen penting kedua dalam filsafat Marxis adalah dialektika,
yang mengajukan masalah, bagaimana dunia berkembang? Dialektika
menyatakan bahwa semua gejala, baik dalam alam dan
masyarakat, pada dasarnya adalah proses yang terus bergerak
dan saling berhubungan, ketimbang
sesuatu yang statis dan terasing.
Pandangan ini menyatakan bahwa proses-proses ini adalah
hasil dari kecenderungan yang secara inheren berlawanan dan bertentangan,
yang menjadi asas dari semua gejala. Perkembangan dan
hilangnya gejala dilihat sebagai hasil dari pertentangan dan hasil dari
kecenderungan yang berlawanan.
Lebih lanjut, perubahan benda-benda bukan
hanya secara kuantitatif, tapi
benda-benda justru memasuki tahap-tahap perkembangan yang baru
dan lebih tinggi sifatnya. Jadi, dalam alam semesta, benda-benda
muncul, berubah dan menghilang
sebagai bagian dari proses yang berjalan
terus.
Seperti materialisme dan idealisme, dialektika juga memiliki lawan, yaitu
metafisika. Metafisika memandang
dunia sebagai kumpulan sejumlah
entitas (satuan) yang terpisah, yang statis dan tidak bergerak. Metafisika melihat segala sesuatu
terpisah satu sama lain, dan tidak melihat hubungan dari semuanya;
perubahan pun hanya dianggap sebagai hasil pengembangan atau
kemunduran yang sangat sederhana.
Jelas, metafisika dan dialektika bertentangan cara pandangnya. Marxisme
memasukkan dialektika
sebagai bagian dari
cara pandangnya karena dialektika menjelaskan gerak dan saling hubungan antara gejala dalam alam semesta,
dan juga menjelaskan perubahan kualitatif
yang terjadi di dunia.
Pandangan metafisis takkan dapat secara tepat menjelaskan alam dan masyarakat
yang senantiasa bergerak dan
terus menerus memunculkan gejala baru. Lebih lanjut, penggunaan cara pandang
metafisis akan menghasilkan penglihatan
politik yang usang dan terbelakang. Jelas jika persoalan
sosial dan pertentangan kelas
dapat dimengerti sebagai gejolak dan gelombang masyarakat statis, yang
hanya dipengaruhi oleh kondisi eksternal
di luar kekuasaan kita, maka tujuan
akhir untuk mengubah masyarakat
dan menciptakan tatanan baru menjadi tidak ada artinya. Filsafat Marxis-Leninis telah memasukkan
pencapaian ilmiah dari masa sebelumnya
dalam mengembangkan cara pandang materialisme
dialektis. Marx dan Engels bersandar pada
karya filsafat borjuis bernama Feuerbach, yang telah menempatkan
cara pandang materialis pada titik yang amat maju, sebelum Marx dan
Engels.
Namun, materialisme Feuerbach ini terbatas dengan memandang
perubahan sebagai sesuatu yang mekanis dan
melihat gejala-gejala sebagai hal
yang terpisah dan statis. Serupa dengan itu, Marx dan Engels juga
berpijak pada karya filsuf borjuis
yang bernama Hegel, yang
melakukan hal yang sama
dalam dialektika seperti dilakukan Feuerbach dalam
materialisme. Namun lagi-lagi
kekurangannya, teori Hegel
tentang dialektika terbatas karena
mengikat semua gejala pada satu sumber yang spiritual. Pencapaian Marx
dan Engels yang dahsyat adalah pengembangan lebih lanjut dari karya-karya Feuerbach dan Hegel, dan
penyatuan prinsip-prinsip materialisme
dan dialektika ke dalam satu cara pandang dunia yang utuh, yakni materialisme
dialektis. Seperti diperlihatkan mereka, unsur-unsur dari materialisme
dialektis tidak dapat
dipahami sepenuhnya jika dilihat sebagai dua unsur yang terpisah.
Kita takkan berpikiran materialis jika meniadakan kehadiran perubahan dan perkembangan di dunia, dan kita
juga takkan memahami perubahan dan
perkembangan ini dengan baik jika
tidak menempatkan kondisi material
sebagai hal yang menentukan. Marx
dan Engels memperluas cara
pandang filsafat ini dalam
pemahaman mereka tentang alam, masyarakat dan pemikiran. [Karya
filsafat Marx & Engels: The German Ideology, The Poverty of Philosophy,
Dialectics of Nature, Ludwig Feuerbach dan Anti-Duhring]
Lenin selanjutnya
mengembangkan hasil kerja Marx
dan Engels. Ia menyambut tentangan borjuis terhadap materialisme dialektis pada
zamannya, dan memberikan sumbangan khusus bagi teori Marxis tentang
pengetahuan dan metode dialektis. Karya-karya filsafat Lenin adalah
Materialism and Empirico-Criticism dan Philosophical Notebooks. Sebagai cara
pandang dunia yang umum, filsafat
Marxis-Leninis mengemukakan semua
masalah dalam realitas sosial:
alam, masyarakat dan pemikiran.
Materialisme dialektis sering dibahas
dalam konteks pandangan Marxis tentang alam. Dalam studi
ini, kita juga akan mengamati penerapan filsafat dalam bidang
pemikiran dan masyarakat. Dalam pemikiran, kita akan
menelaah teori Marxis tentang
pengetahuan. Ini adalah teori
pengetahuan yang materialis dan
dialektis sekaligus, yang mulai
dari pemahaman bahwa ide
mencerminkan realitas material
dan bahwa pikiran berkembang dalam cara dialektis, dari hal yang sederhana
ke hal yang rumit. Teori pengetahuan
adalah masalah filsafat yang
penting karena berurusan
dengan hubungan antara pengetahuan
dan pengalaman, dan karena itu menempatkan kerja teoretis kita dalam hubungannya dengan praktek politik.
Akhirnya, kita akan mengamati
filsafat Marxis dalam bidang masyarakat
manusia, yaitu materialisme historis. Di sini, materialisme historis
juga dimulai dengan telaah terhadap
landasan material, yaitu cara manusia mengelola proses
produksi untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi dasar, yang merupakan
landasan munculnya tempat ide,
politik dan kebudayaan. Materialisme historis juga berwatak
dialektis karena melihat sejarah
sebagai proses perubahan dan perkembangan. Dalam mempelajari
materialisme historis, kita akan melihat bagaimana filsafat Marxis
menyediakan bukan hanya pemahaman
tentang masa lalu, tapi juga arah
dan tuntunan bagi masa depan.
Secara khusus, materialisme historis Marxis memungkinkan kita menemukan
landasan eksploitasi kaptialis dan menunjuk jalan bagi pembangunan sosialisme
.Ini adalah unsur-unsur dari filsafat Marxis-Leninis.