Tuesday, October 25, 2016

Filsafat: Landasan bagi Pergerakan

Studi kita tentang teori Marxis akan dimulai dengan pengamatan terhadap filsafat Marxisme, yaitu  materialisme dialektis. Kita harus mulai dari filsafat karena filsafat memberikan landasan bagi pemahaman kita tentang ekonomi politik, strategi politik dan masalah teoretis lain yang kita hadapi  dalam  pergerakan. Filsafat memberikan cara pandang dan metode untuk menelaah semua persoalan  yang dihadapi oleh pergerakan. Materialisme dialektis juga memberikan jangkar ilmiah yang kokoh  tempat  berpijaknya aktivitas kita dalam pergerakan.
Untuk memulai pembahasan ini kita harus menjawab pertanyaan: Apa itu filsafat? Secara singkat filsafat dapat dikatakan sebagai teori umum tentang kenyataan. Filsafat meliputi penelahaan terhadap berbagai hal mendasar seperti hubungan antara berpikir dan keadaan (thinking and being); bagaimana segala sesuatu berubah dan berkembang; apakah ada kehidupan lain setelah tubuh mati atau tidak;  dan sebagainya. Singkatnya, filsafat mengamati semua masalah yang berurusan dengan alam,  masyarakat dan pikiran. Karena itulah filsafat menjadi titik tolak yang sangat baik untuk studi kita. Pengetahuan kita tentang ekonomi politik yang sudah dimiliki kini bisa diperiksa kembali landasan filsafatnya, apakah sudah berpijak  pada cara pikir yang konsisten dan tepat  atau belum. Selama  perjalanan  sejarah  manusia,  sudah  tak  terhitung jumlah filsuf di dunia. Mulai dari pemikir-pemikir dalam masyarakat  Yunani  seperti Aristoteles, Plato, Socrates dst-nya sampai pada pemikir-pemikir modern seperti John Stewart Mill  dan Bertrand Russell. Dalam studi ini, kita tidak akan mengulas semua pikiran  yang  pernah dijabarkan manusia  selama  hidupnya,  juga tidak  sebagian dari mereka seperti yang lazimnya dilakukan  oleh studi-studi filsafat. Titik berangkat kita adalah filsafat Marxis yang  merupakan ungkapan filsafat yang paling maju dalam  sejarah manusia.
Atas  dasar apa kita bisa mengatakan bahwa  Marxisme  adalah ungkapan filsafat tertinggi yang pernah dibuat manusia? Pertama, karena akar dari materialisme dialektis ada pada  proletariat dan dengan karena itu, filsafat tersebut juga menjadi cara pandang dunianya. Proletariat tidak berkepentingan untuk memisahkan  masyarakat dalam  kelas-kelas atau mempertahankan pemisahan yang sudah  ada. Proletariat  senantiasa berusaha memahami dunia dari  sudut  yang obyektif dan ilmiah. Semua aliran filsafat terdahulu terikat pada pandangan  subyektif yang berusaha mempertahankan struktur  kelas yang  eksploitatif,  tentunya  demi  keuntungan  kelas  penguasa. Filsafat Marxis-Leninis adalah filsafat pertama yang secara  utuh dan  lengkap  bersandar pada kelas yang tidak  punya  kepentingan menindas  dan  dengan begitu mewakili cara pandang  obyektif  dan revolusioner di dunia. Kenyataan bahwa Marxisme-Leninisme terang-terangan merupakan pandangan yang membela tujuan dari kelas buruh sama  sekali tidak bertentangan dengan asasnya yang obyektif  dan ilmiah.  Justru karena filsafat ini bersandar pada  kelas  buruh, maka ia dapat memberikan pandangan ilmiah terhadap kenyataan. Marx  dan Engels suatu saat mencatat: "Sama  halnya  seperti filsafat menemukan senjata materialnya di dalam proletariat, maka proletariat menemukan senjata spiritual mereka dalam filsafat.” [Marx dan Engels, dikutip dalam Handbook of Philosophy, disunting oleh Howard Selsam, Proletarian Publisher, 1949]
Namun, "senjata spiritual" yang disebut Marx di sini sama  sekali bukan  berarti "kepercayaan" atau optimisme berlebihan.  Filsafat di  sini justru berfungsi sebagai alat intelektual  -- khususnya cara pandang yang revolusioner dan ilmiah -- yang sangat  penting untuk menjalankan tugas dan strategi di dalam pergerakan.Tentu saja, kebutuhan untuk memahami filsafat Marxis semakin terasa saat ini jika dibandingkan sekitar seratus tahun lalu. Rumitnya  perkembangan internasional dengan situasi  pertentangan kelasnya,  dan juga perbedaan-perbedaan di kalangan  revolusioner sendiri,  makin mendesakkan kebutuhan akan adanya pemahaman  yang seragam  terhadap filsafat Marxis. Sayangnya, banyak  orang  yang menamakan dirinya revolusioner meniadakan kebutuhan ini, filsafat sering  diabaikan dan diremehkan dalam gerakan revolusioner  yang luas.  Kebanyakan  orang  menyingkirkan  persoalan  filsafat  ini karena dianggap kebutuhan akan jawaban-jawaban terhadap persoalan langsung dan kongkret itu jauh lebih penting. Pendekatan  pragmatis  seperti  ini  telah meniadakan atau  mengecilkan  arti  dari filsafat  Marxis  sebagai  alat yang sangat  penting  bagi  kelas proletariat.  Sebaliknya, banyak orang lain yang terlalu  terpaku secara dogmatik terhadap filsafat ini, dan mengabaikan bahwa yangterpenting bagaimanapun adalah kemampuan menelaah dan menyelesaikan  persoalan. Hal seperti ini memerlukan studi teori  dan  juga belajar  terus menerus dari praktek politik  sehari-hari,  secara bersamaan,  tanpa  mengunggulkan  yang satu di  atas  yang  lain. Seperti  dikatakan  Lenin: "Tidak akan ada revolusi  tanpa  teori revolusioner."  Dalam  kesempatan lain dikatakannya  bahwa  teori revolusioner juga hanya mungkin muncul dari gerakan  revolusioner itu sendiri.

Filsafat dan Kelas
Untuk  mempelajari filsafat Marxis, penting bagi kita  untuk membelejeti  beberapa kesalahpahaman terhadap filsafat yang  amat sering terjadi. Kiranya kesalahpahaman yang paling sering terjadi dalam  masyarakat adalah bahwa filsafat hanya ada di  benak  para pemikir besar, dan tidak ada hubungannya dengan kenyataan sehari-hari. Dalam kenyataannya, filsafat sama sekali bukan milik  segelintir  pemikir besar, tapi cerminan dari organisasi  sosial  masyarakat dan watak dari produksi sosial tertentu. Walaupun filsafat diungkapkan oleh individu tertentu, isinya jelas  dipengaruhi oleh cara paandang dan kepentingan kelas dari individu  tersebut. Dengan  kata lain, dalam memberikan gambaran  tentang  kenyataan, filsafat  sudah mengambil posisi sosial tertentu  terlebih  dulu. Mungkin  saja benar bahwa kebanyakan filsafat ada di  luar  jangkauan masyarakat luas (sering dibilang bahwa filsafat itu  mengawang-awang, tidak menyentuh kenyataan dst-nya), tapi  yang jelas  bahwa filsafat itu berakar pada kondisi  sosial  tertentu. Ini hal yang tidak mungkin dibantah.
Filsafat  telah  hadir di dunia begitu manusia  punya  waktu untuk  melihat  kembali apa yang terjadi di dunia.  Pengembangan kemampuan  pikiran  manusia --seperti filsafat,  politik,  kebudayaan -- hanya mungkin ada kalau tidak semua orang secara  utuh terikat pada kebutuhan memenuhi kebutuhan hidup. Dalam  masyarakat primitif,  hanya  ada  sedikit waktu  untuk  berfilsafat,  karena kebutuhan  ekonomi  cenderung menyerap seluruh kerja  dan  energi manusia.  Dalam usaha menjelaskan teka-teki  kehidupan  --kenapa hujan  jatuh dari langit, apa yang membuat  matahari  bersinar-- manusia  hanya  dapat  memberi penjelasan  yang  mistis  sifatnya. Mereka sama sekali tidak punya pemahaman ilmiah terhadap  hal-hal ini dan karenanya mereka cenderung memberikan penjelasan spiritual  terhadap hal-hal yang sesungguhnya material  (misalnya, dewa matahari, dewa hujan, dsb-nya). Dengan begitu,  masyarakat didominasi  atau dikuasai mitologi --yang pada  dasarnya  adalah penggantian kenyataan dengan fantasi-- ketimbang filsafat.
Dalam  perjalanannya,  manusia berhasil  membuat  terobosan-terobosan  ilmiah dan dapat menggunakan  sejumlah  pengetahuannya untuk melengkapi caranya memandang dunia. Tidak ada gunanya  lagi memberikan  penjelasan spiritual terhadap segala sesuatu,  karena penjelasan ilmiah sudah dikembangkan untuk gejala-gejala tertentu (misalnya,  sebab adanya api, apa yang membuat  tumbuhan  berkembang). Hasilnya, masyarakat mulai berpaling dari mitologi  kepada filsafat.  Namun, karena keterbatasan pengetahuan, manusia  belum sepenuhnya  dapat meninggalkan penjelasan  spiritual.  Mistisisme tetap  menjadi kekuatan berpengaruh dalam filsafat, dan  akhirnya berkembang menjadi agama-agama yang lebih kompleks sifatnya dalammasyarakat modern (Yudaisme, Katolisisme, dan lainnya).
Ketika kemanusiaan itu berkembang, demikian pula  masyarakat kelas dan penindasan kelas. Akhir dari masyarakat primitif menandai  awal  dari zaman baru di mana  manusia  dibagi-bagi  menjadi penguasa dan yang dikuasai. Ketika hal ini muncul,filsafat  mulai mencerminkan posisi kelas dan orientasi kelas. Dapat  di-mengerti bahwa    filsuf   kerajaan   mencerminkan    kepentingan    kelas penguasa. Seperti  dikatakan Marx dan Engels, "Ide kelas  penguasa dalam  zaman apapun adalah ide yang berkuasa; yaitu, kelas yang merupakan penguasa kekuatan material dalam masyarakat, pada  saat yang sama adalah kekuatan intelektual yang berkuasa. [Marx & Engels,The German Ideology, dalam Selsam & Martel, Reader in Marxist Philosophy, International Publisher]
Filsafat  dari  semua masyarakat --sampai sekarang  ini -- adalah refleksi intelektual terhadap kerangka kelas tertentu  dan kondisi  sosial. Misalnya, dalam masyarakat perbudakan  pandangan sosial  yang  dominan  adalah "warga"  (citizen).  Pandangan  ini mengandung  aspirasi  dari kelas tertentu,  yaitu  kelas  pemilik budak. Pandangan ini mengunggulkan individu untuk memiliki sesuatu --tanah dan juga manusia-- dan untuk terlibat dalam kegiatan politik  dan intelektual masyarakatnya. Karena itulah  masyarakat perbudakan  mengembangkan  demokrasi  hanya  untuk  para  pemilik budak.  Filsafat  mereka  menjadi kode etik  bagi  kelas  pemilik budak.  Sama  halnya, filsafat yang dominan  dalam  zaman  feodal dapat  diartikan sebagai pembenaran terhadap hirarki feodal  yang ketat.  Terutama dikembangkan oleh gereja Katolik,  cara  pandang ini  mengembangkan cara pandangan statis tentang tata susun  masyarakat.  Tidak heran bahwa dalam cara pandang ini petani  penggarap menempati urutan paling bawah sementara raja dan  bangsawan lainnya ada di tingkat paling atas. Ini bukan untuk mengatakan bahwa filsafat itu hanyalah akal-akalan penguasa untuk mengelabui mereka yang tertindas. Filsafat berakar  dalam  kondisi  sosial yang nyata di  setiap  zaman  dan karena  itu  selalu terbatas pada  tingkat  pengetahuan  manusia.
Dalam periode sejarah manapun tidak akan mungkin dibuat  analisis obyektif  terhadap  semua gejala alam dan gejala  sosial,  karena manusia tidak cukup pengetahuannya untuk memahami semua hal. Pada batas-batas  kemampuan mereka menganalisis dunia,  maka  analisis ini  diwarnai oleh kondisi kelas dan oleh cara  berfungsinya  masyarakat  selama  ratusan dan bahkan  ribuan  tahun. Singkatnya, tiada  pikiran  di dunia ini yang terlepas dari  kondisi  sosial.
Semua pikiran, dengan cara berbeda-beda jelas dipengaruhi  kondisi sosial. Lebih lanjut, seluruh masyarakat tak pernah secara utuh  dan lengkap di-satukan di bawah satu filsafat tertentu. Sering terjadi  perdebatan filsafat di kalangan kelas penguasa  sendiri,  dan juga di antara kelas-kelas. Dalam masyarakat perbudakan,  misalnya,  debat filsafat muncul antara sayap progresif dan  reaksioner dari  kelas penguasa. Plato mengungkapkan kepentingan dari  aristokrat pemilik budak yang reaksioner menentang pandangan  dialektis,  yang materialis tapi primitif dari Demokritus dan  Heraklitus. Di pihak lain, Aristoteles berulangkali mengkritik teori-teori idealis dari Plato dan menjunjung pendekatan yang lebih  materialis untuk memahami dunia. Jadi, sekalipun kedua alur pikiran ini berakar  pada kelas pemilik budak, keduanya  tidak  mengembangkan cara pandang filsafat yang sama.
Ketika  kaum  borjuis  muncul  menentang  kekuasaan  feodal, mereka  dipersenjatai dengan filsafat baru. Cara pandang  borjuis mengutamakan  kebebasan individu, dengan mengatakan  bahwa  tidak ada  orang yang sudah terikat pada nasib, tapi sebaliknya  setiap orang dapat  bekerja sesuai keinginannya untuk maju. Perkembangan ini tercermin secara religius dalam debat antara Katolisisme  dan Protestanisme. Sebenarnya, cara pandang Protestan adalah  kebutuhan  kaum  borjuasi untuk mematahkan  pembatasan-pembatasan  yang dibuat  oleh  feodalisme, agar bebas membuat barang,  agar  bebas memasuki pasar dan mengambil keuntungan.
Para pemikir abad Pencerahan (Eropa abad 18) adalah  filsuf-filsuf borjuis. Mereka menulis tentang pentingnya "kebebasan" dan "kemerdekaan" dari sudut pandang ekonomi, politik dan  intelektual.  Para pemikir ini juga menjunjung tinggi kekuatan  akal  yang begitu  besar  dari  manusia. Mereka  memandang  pikiran  manusia sebagai kekuatan besar, yang sanggup membawa perubahan di  dunia. Tetapi,  walaupun pemikir Abad Pencerahan ini, seperti  Voltaire, Diderot  dan  Hegel mengembangkan pengertian  tentang  pentingnya "kebebasan",  "kemerdekaan",  dan "akal",  filsafat  mereka  juga harus dilihat dalam konteks aspirasi borjuis. Seruan akan kebebasan diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dari kelas feodal yangmembuat  sebagian  besar penduduk -- dan khususnya  kaum  borjuis sendiri  -- terikat secara ekonomi dan politik. Mereka  memajukan akal  sebagai  bagian  dari proses  mengkritik  dan  menggerogoti batasan-batasan ekonomi, politik dan intelektual yang  dihasilkan keterbelakangan feodalisme.
Jelas  bahwa  filsafat senantiasa  harus  ditempatkan  dalam konteks sosial dan kondisi kelas. Walaupun bayangan kita  tentang filsafat  itu sebagai sesuatu yang seakan lepas  dari  kenyataan, kita  harus  tahu bahwa filsafat hanya dapat  dimengerti  sebagai sesuatu yang sangat erat ikatannya dengan kondisi kongkret. Lebih lanjut,  sejarah pertentangan filsafat bukan hanya  debat  antara gagasan-gagasan yang mengasyikkan, tapi cerminan dari  pertentangan kelas dan kondisi kelas. Seperti kita lihat, kelas-kelas yang tertindas  dalam  masyarakat tertentu sering  mengembangkan  cara pandang  yang menentang filsafat penguasa -- contohnya,  pikiran kaum borjuis yang muncul menentang tata susun feodal.
Sama halnya, filsafat Marxisme-Leninisme adalah bagian  dari pertentangan  kelas  pada masa sekarang.  Materialisme  dialektis dirumuskan dalam periode mana kontradiksi dan ketidakmampuan cara produksi  kapitalis menjadi jelas. Filsuf borjuis, dengan  seruan mereka  tentang "kebebasan" dan "kemerdekaan" tak lagi  memainkan peran revolusioner dan tak dapat menjelaskan kegagalan dari cara produksi  yang baru itu. Filsafat borjuis mengunggulkan  kebebasan individu untuk terlibat dalam produksi, pertukaran dan  penghisapan  hasil kerja orang lain; dan dengan begitu memberikan  alasan dasar  bagi  kapitalisme. Titik berangkat  dari  filsafat  Marxis adalah melihat kenyataan real dan material sebagai hal utama  dan memahami  bahwa masyarakat manusia, gagasan dan  nilai  berangkat dari  kondisi material tsb. Dengan begini, filsafat Marxis  dapat membuka  selubung yang menutupi realitas obyektif dari  penindasan dan penghisapan kapitalis.
Tapi filsafat Marxis juga berbicara untuk kelas tertentu  --proletariat.  Filsafat  Marxis menyediakan alat  untuk  mengenali proletariat  sebagai obyek dari penindasan kapitalis, dan  dengan begitu  mendukung  perjuangan proletariat  menentang  penindasan. Lebih  lanjut,  filsafat Marxis tidak memberikan  pandangan  yang statis  tentang dunia, seperti yang dilakukan oleh filsafat  dari zaman feodal dan perbudakan. Salah satu unsur kunci dari filsafat Marxis  adalah  mengenali perubahan dan  pertentangan  di  dunia, yaitu bahwa segala sesuatu senantiasa bergerak dan bahwa  kontradiksi dapat dipecahkan sehingga manusia dapat bergerak ke tingkatyang lebih tinggi. Dengan begitu, filsafat Marxis membantu mengenali  proletariat  bukan  hanya sebagai  korban  dari  penindasan kapitalis,  tapi  juga  sebagai agen  perubahan.  Bersandar  pada kenyataan  bahwa proletariat sebagai kelas bertanggungjawab  pada keseluruhan  produksi, filsafat Marxis melihat kelas ini  sebagai kekuatan yang dapat menghancurkan tata kapitalis dan menghadirkan cara produksi yang baru --sosialisme-- di dunia.

Marxisme: Pembalikan Revolusioner dalam Hubungan Antara Filsafat dan Ilmu.
Di  atas  kita  telah mencatat arti  penting  dari  filsafat Marxis  sebagai alat memahami kondisi obyektif yang  eksploitatif dari kapitalisme dan sebagai "senjata spiritual" bagi proletariat dalam perjuangan mereka menentang kapitalisme dan demi  sosialisme.
Kita  dapat memperdalam pengertian ini,  pengertian  tentang signifikansi  revolusioner dari filsafat Marxis dengan  mengamati bagaimana  filsafat  ini, untuk pertama  kalinya  dalam  sejarah, menggabungkan filsafat dengan ilmu.Ilmu  berbeda  dari filsafat karena  ilmu  hanya  memberikan pengetahuan  tentang  wilayah khusus dari alam  atau  masyarakat, sementara  filsafat berusaha memberikan gambaran menyeluruh  dari hukum-hukum alam, masyarakat dan pikiran. Ilmu, yang  menggunakan metode investigasi yang empiris dan teoretis, mempelajari  bidang tertentu  seperti biologi, fisika, sejarah dan antropologi.  Ilmu mengambil kesimpulan langsung dari penyelidikan terhadap alam dan masyarakat, dan menguji kebenaran kesimpulan ini melalui  praktek --dan bukan hanya "dalam pikiran". Sumbangan yang beragam  dari para ilmuwan dan filsuf terhadap pengetahuan manusia dapat segera dilihat  dengan  membandingkan ilmuwan seperti  Galileo,  Newton, Darwin dan Einstein dengan filsuf macam Plato, Thomas Aquinas dan Hegel. Namun, terlepas dari pembedaan di antara kedua bidang ini, juga  ada hubungan yang sangat erat. Dalam hubungan ini  filsafat melingkupi pengetahuan tertentu yang diperoleh dari ilmu ke dalam pandangan  dunia dan metodologi yang lengkap, dan  dengan  begitu menyediakan kerangka teoretis yang umum demi kemajuan ilmu.  Jika hubungan  ini  dikacaukan pada salah satu  sisi,  maka  kesalahan fatal  adalah akibatnya. Tidak ada orang yang  memahami  hubungan antara  ilmu  dan filsafat lebih ketat daripada Marx,  yang  pada saat  bersamaan  adalah  seorang ilmuwan  sosial  yang  cemerlang sekaligus  filsuf revolusioner. Marx sekaligus menghasilkan  ilmu sejarah dan masyarakat serta filsafat yang merangkum  hukum-hukum paling umum dari ilmu ini.
Seperti telah kita catat, cara pandang dari mayarakat primitif terutama berlandaskan pada mitologi karena pengetahuan ilmiah tentang  dunia pada saat itu masih bersifat minim. Secara  bertahap,  saat  pengetahuan ilmiah makin mendalam,  masyarakat  mulai berpaling dari mitologi. Namun, mistisisme terus merupakan kekuatan dominan dalam cara pandang masyarakat perbudakan dan  feodal. Dalam  mistisisme dunia dijelaskan sebagai hasil  kerja  kekuatan spiritual, seperti dewa matahari, bulan, raja laut, dst-nya.   Jadi, sebelum ilmu itu ada, yang ada itu  filsafat.  Karena itulah,  untuk jangka waktu yang lama filsafat  dianggap  sebagai "ilmu  dari semua ilmu", yang mencakup semua  bidang  pengetahuan manusia dan bisa memberikan tuntunan dengan mengacu pada "prinsip pertama".  Ketika  muncul kemajuan ilmu yang  hasilnya  menentang filsafat  yang ada, maka sering terjadi pertentangan tajam,  misalnya dalam kasus Galileo, yang kemajuan ilmiahnya dalam memahami bumi dan alam semesta bertentangan dengan cara pandang Katolik.
Perkembangan kapitalisme, bagaimanapun menjadi landasan bagi kemajuan-kemajuan  yang dahsyat dalam bidang  ilmy.  Pengembangan kekuatan  produksi  memungkinkan  manusia  mendapat   pengetahuan ilmiah  yang lebih besar tentang alam dan  kemanusiaan.  Terlepas dari semua kemajuan ilmu yang dicapai oleh kaum borjuis, filsafat borjuis  secara umum menghadirkan ilmu dan filsafat  sebagai  dua hal  yang  berdiri  terpisah. Misalnya,  sekalipun  para  ilmuwan borjuis dituntut mencari fakta-fakta obyektif dalam kerja  ilmiah mereka  untuk  menghasilkan sesuatu,  pandangan  filsafat  mereka kadang  sangat kentara masih diselubungi mistisisme  (kepercayaan terhadap  dukun, kekuatan spiritual, dsb-nya). Lebih  lanjut,  filsuf  borjuis  terus  menghasilkan  karya-karya   abstrak (tentang sejarah, politik, etika, logika formal, dst-nya) yang  gagal  menjelaskan sesuatu atau  juga  bertentangan  dengan penemuan  ilmu  modern. Banyak kekeliruan  mendasar  yang  muncul karena  adanya pemisahan antara filsafat dan ilmu oleh kaum  borjuis menyatakan  bahwa filsafat yang menyeluruh itu  tidak  diperlukan dan bahwa pengetahuan manusia hanya perlu dilandaskan pada akumulasi (pengumpulan) fakta-fakta ilmiah yang makin banyak;  kebutuhan  akan tinjauan umum terhadap realitas sama sekali  diabaikan. Di pihak lain, kita menghadapi masalah dogmatisme yang  melandaskan  diri  pada "filsafat" tapi tidak  didukung  oleh  pembuktian ilmiah.  Kedua  kecenderungan ini  senantiasa  gagal  menjelaskan realitas  secara utuh --sebuah proses yang memerlukan  pemahaman tentang hubungan yang tepat, dan membuat filsafat bergantung pada penyelidikan  ilmiah serta menggunakan kerangka  yang  disediakan filsafat untuk mengarahkan dan membimbing penyelidikan.
Inilah yang dicapai Marxisme dan menghasilkan revolusi dalam filsafat  dengan mengubah hubungannya terhadap ilmu.  Ini  adalah revolusi  yang  sangat penting, yang digambarkan  Engels  sebagai "akhir dari semua filsafat dalam pengertian yang diterima  sampai sekarang ini." Marx membuat filsafat bergantung pada ilmu, dengan begitu mematahkan praktek lama dari semua filsuf spekulatif  yang mencoba menempatkan filsafat mereka di atas ilmu. Buktinya adalah ekonomi  politik Marx, yaitu ilmu yang disusun dari  penyelidikan empiris  dan teoretik tentang ekonomi kapitalis. Dari  ilmu  ini, Marx  menarik  kesimpulan umum tentang masyarakat  yang  kemudian menghasilkan  rumusan tentang hukum-hukum gerak masyarakat  manusia,  atau juga dikenal dengan nama materialisme  historis.  Pada saat bersamaan, materialisme historis menerapkan  prinsip-prinsip umum dari materialisme dialektis kepada masyarakat manusia.  Tapi titik berangkatnya tetap investigasi langsung terhadap kenyataan.
Materialisme  dialektis  harus  dipahami  sebagai  tinjauan  umum terhadap  hukum-hukum  gerak  yang nyata di  dunia.  Jelas  bahwa pemahaman terhadap hukum-hukum ini akan memudahkan kemajuan kerja ilmiah,  tapi  hukum-hukum itu sendiri  tidak  dapat  menciptakan pengetahuan baru tanpa diterapkan dalam bidang ilmu tertentu. Filsafat  Marxis dengan begitu bersandar pada ilmu,  membuat kesimpulan  dari  ilmu dan memasukkannya ke  dalam  cara  pandang dunia  dan metodologi yang konsisten. Filsafat Marxis  sudah  meninggalkan  filsafat dalam pengertian spekulatif. Tidak ada  lagi filsafat  alam  yang berdiri di atas ilmu, tapi yang  ada  adalah ilmu  alam.  Hukum-hukum paling umum dari ilmu  alam  diungkapkan dalam  materialisme  dialektis. Tidak ada lagi  filsafat  sosial, yang  berdiri  di  atas ilmu, tapi yang ada  adalah  ilmu  sosial (Marxisme-Leninisme).  Hukum-hukum paling umum dari  ilmu  sosial diungkapkan dalam materialisme historis.

Prinsip-prinsip Dasar dari Filsafat Marxis
Kita sudah membahas arti penting revolusioner dari  filsafat Marxis,  dengan mengamati isinya secara umum. Sekarang kita  akan mengamati cara pandang ini lebih rinci, dengan menelaah  komponen utama dari materialisme dialektis. Pertama-tama filsafat Marxis mempertanyakan mana yang  lebih utama: benda (matter) atau ide? Singkatnya, aspek materialis dari materialisme  dialektis menyatakan bahwa benda lebih  utama  dari ide. Dunia dapat dipahami, tapi kehadirannya terpisah dari  kesadaran  manusia. Artinya, walaupun dipikir atau  tidak,  kenyataan benda  itu  tetap  ada. Contohnya begini,  sekalipun  kita  tidak memikirkan  air  yang senantiasa mengalir ke  tempat  yang  lebih rendah,  kenyataan  itu tetap berlangsung. Sekalipun  kita  tidak tahu bahwa matahari terbit di timur, kenyataan itu tetap berlangsung. Sekalipun keterangan ini cukup jelas, masalah benda  versus ide ini tetap menjadi jantung pertentangan filsafat di masa lalu, dan berlanjut terus sebagai fokus perdebatan filsafat. Idealisme, cara  pandang yang berlawanan, menyatakan bahwa hal yang  ada  di dunia  itu semata benda dalam pikiran, dan bukan benda  material.
Dalam pandangan idealisme dunia hanya hadir dalam pikiran  orang, atau dengan kata lain bahwa dunia diciptakan oleh kekuatan  spiritual tertentu. Engels mengungkapkan perbedaan antara materialisme dan idealisme seperti ini: "Masalah  besar yang paling mendasar dari semua  filsafat,  dan terutama filsafat dewasa ini,  berkisar  pada hubungan  antara berpikir dan ada. Para filsuf  terbagi dalam dua kubu menurut jawaban mereka terhadap  persoalan  tersebut.  Mereka yang mengunggulkan ide  di  atas dalam, dan dengan begitu pada akhirnya berasumsi tentang penciptaan  dunia...  membentuk  kubu  idealisme.  Yang lain,  yang melihat alam lebih utama,  tergabung  dalam beberapa  aliran materialisme... Ini adalah  pengertian paling  dasar  dari kedua istilah  itu,  idealisme  dan materialisme.” [Engels, Ludwig Feuerbach, International Publishers, 1978, hlm. 20-1]
Walau  filsuf materialis sudah menulis sebelum mereka,  Marx dan  Engels lah yang pertama membuat elaborasi materialisme  dari segala  segi,  sambil  membuat kritik  yang  menyeluruh  terhadap idealisme.  Dalam  pencarian  mereka  akan  prinsip-prinsip  yang melandasi  proses  sosial dan alam, jelas bagi  Marx  dan  Engels bahwa idealisme hampir-hampir tidak menghadirkan pandangan ilmiah tentang dunia, dan nyata bisa berkembang hanya karena  ketidakpedulian manusia terhadap kekuatan yang menghasilkan proses tertentu. Idealisme, sebagai cara pandang sosial, bisa menuju fatalisme -- idealisme sering mengatakan bahwa manusia tidak dapat mengubah dunia  di hadapan mahluk spiritual yang luar biasa  kekuasaannya. Di sisi lain idealisme dapat menuju pada voluntarisme  --pandangan bahwa keinginan manusia dapat mengubah segala sesuatu,  tanpa mempedulikan  kondisi  materialnya. Jelas  bahwa  fatalisme  dan voluntarisme  mencerminkan  kekacauan  idealisme  dalam  memahami hubungan antara benda dan ide.
Idealisme  adalah cara pandang filsafat yang  dominan  dalam perjalanan  sejarah,  karena  ketidaktahuan  dan  ketidakpedulian manusia  sendiri. Kemunculan kapitalisme, yang beriringan  dengan perkembangan ilmu dan teknologi, banyak membantu dalam  mengalahkan  kekuatan idealisme dan meletakkan basis  bagi  materialisme. Banyak  filsuf  borjuis di masa awal kapitalisme  adalah  pemikir materialis. Pertentangan antara idealisme dan materlisme, bagaiamapun  tetap berlangsung sampai saat ini. Ilmuwan  borjuis  tidak menerapkan  materialisme  secara  konsisten  terhadap   kenyataan sosial, khususnya kalau menganalisis ilmu sosial (sejarah, antropologi  dsb-nya). Dalam bagian-bagian berikut  akan  kita amati  pertentangan  idealisme  dan  materialisme  lebih  cermat, dengan mengacu pada perdebatan di masa lalu dan juga masa kini. Komponen penting kedua dalam filsafat Marxis adalah  dialektika,  yang mengajukan masalah, bagaimana dunia berkembang?  Dialektika  menyatakan bahwa semua gejala, baik dalam alam  dan  masyarakat,  pada  dasarnya adalah proses yang terus  bergerak  dan saling  berhubungan, ketimbang sesuatu yang statis dan  terasing.
Pandangan  ini  menyatakan bahwa proses-proses ini  adalah  hasil dari kecenderungan yang secara inheren berlawanan dan  bertentangan,  yang menjadi asas dari semua gejala. Perkembangan  dan  hilangnya gejala dilihat sebagai hasil dari pertentangan dan  hasil dari  kecenderungan  yang  berlawanan.  Lebih  lanjut,  perubahan benda-benda  bukan  hanya secara  kuantitatif,  tapi  benda-benda justru  memasuki  tahap-tahap perkembangan yang  baru  dan  lebih tinggi  sifatnya. Jadi, dalam alam semesta,  benda-benda  muncul, berubah  dan menghilang sebagai bagian dari proses yang  berjalan terus.
Seperti materialisme dan idealisme, dialektika juga memiliki lawan,  yaitu  metafisika.  Metafisika  memandang  dunia  sebagai kumpulan sejumlah entitas (satuan) yang terpisah, yang statis dan tidak  bergerak. Metafisika melihat segala sesuatu terpisah  satu sama  lain, dan tidak melihat hubungan dari  semuanya;  perubahan pun  hanya  dianggap sebagai hasil pengembangan  atau  kemunduran yang sangat sederhana.
Jelas, metafisika dan dialektika bertentangan cara pandangnya.  Marxisme  memasukkan  dialektika sebagai  bagian  dari  cara pandangnya karena dialektika menjelaskan gerak dan saling  hubungan antara gejala dalam alam semesta, dan juga menjelaskan  perubahan  kualitatif  yang  terjadi di  dunia.  Pandangan  metafisis takkan  dapat secara tepat menjelaskan alam dan  masyarakat  yang senantiasa  bergerak dan terus menerus memunculkan  gejala  baru. Lebih lanjut, penggunaan cara pandang metafisis akan menghasilkan penglihatan  politik yang usang dan terbelakang. Jelas jika  persoalan  sosial  dan pertentangan kelas dapat  dimengerti  sebagai gejolak  dan gelombang masyarakat statis, yang hanya  dipengaruhi oleh kondisi eksternal di luar kekuasaan kita, maka tujuan  akhir untuk  mengubah masyarakat dan menciptakan tatanan  baru  menjadi tidak ada artinya. Filsafat  Marxis-Leninis telah memasukkan pencapaian  ilmiah dari masa sebelumnya dalam mengembangkan cara pandang materialisme  dialektis.  Marx  dan Engels bersandar  pada  karya  filsafat borjuis  bernama Feuerbach, yang telah menempatkan cara  pandang materialis  pada titik yang amat maju, sebelum Marx  dan  Engels.
Namun, materialisme Feuerbach ini terbatas dengan memandang perubahan  sebagai  sesuatu yang mekanis  dan  melihat  gejala-gejala sebagai hal yang terpisah dan statis. Serupa dengan itu, Marx dan Engels  juga  berpijak  pada karya filsuf  borjuis  yang  bernama Hegel,  yang  melakukan hal yang sama  dalam  dialektika  seperti dilakukan Feuerbach dalam materialisme. Namun lagi-lagi  kekurangannya,  teori Hegel tentang dialektika terbatas karena  mengikat semua gejala pada satu sumber yang spiritual. Pencapaian Marx dan Engels yang dahsyat adalah pengembangan lebih lanjut dari  karya-karya Feuerbach dan Hegel, dan penyatuan prinsip-prinsip  materialisme dan dialektika ke dalam satu cara pandang dunia yang utuh, yakni  materialisme  dialektis.  Seperti  diperlihatkan   mereka, unsur-unsur  dari  materialisme dialektis  tidak  dapat  dipahami sepenuhnya  jika  dilihat sebagai dua unsur yang  terpisah.  Kita takkan berpikiran materialis jika meniadakan kehadiran  perubahan dan perkembangan di dunia, dan kita juga takkan memahami  perubahan  dan  perkembangan  ini dengan baik  jika  tidak  menempatkan kondisi  material  sebagai hal yang menentukan. Marx  dan  Engels memperluas  cara  pandang  filsafat ini  dalam  pemahaman  mereka tentang  alam, masyarakat dan pemikiran. [Karya filsafat Marx & Engels: The German Ideology, The Poverty of Philosophy, Dialectics of Nature, Ludwig Feuerbach dan Anti-Duhring]

Lenin selanjutnya  mengembangkan  hasil kerja Marx dan Engels. Ia  menyambut  tentangan borjuis  terhadap materialisme dialektis pada zamannya, dan  memberikan  sumbangan khusus bagi teori Marxis  tentang  pengetahuan dan metode dialektis. Karya-karya filsafat Lenin adalah Materialism and Empirico-Criticism dan Philosophical Notebooks. Sebagai cara pandang dunia yang umum, filsafat  Marxis-Leninis  mengemukakan  semua  masalah dalam  realitas  sosial:  alam, masyarakat  dan pemikiran. Materialisme dialektis sering  dibahas dalam  konteks  pandangan Marxis tentang alam. Dalam  studi  ini, kita juga akan mengamati penerapan filsafat dalam bidang pemikiran  dan  masyarakat. Dalam pemikiran, kita  akan  menelaah  teori Marxis  tentang  pengetahuan. Ini adalah teori  pengetahuan  yang materialis  dan  dialektis sekaligus, yang mulai  dari  pemahaman bahwa  ide  mencerminkan  realitas  material  dan  bahwa  pikiran berkembang  dalam cara dialektis, dari hal yang sederhana ke  hal yang rumit. Teori pengetahuan adalah masalah filsafat yang  penting  karena  berurusan  dengan hubungan  antara  pengetahuan  dan pengalaman, dan karena itu menempatkan kerja teoretis kita  dalam hubungannya dengan praktek politik.

Akhirnya,  kita akan mengamati filsafat Marxis dalam  bidang masyarakat manusia, yaitu materialisme historis. Di sini, materialisme  historis  juga dimulai dengan  telaah  terhadap  landasan material,  yaitu  cara manusia mengelola  proses  produksi  untuk memenuhi  kebutuhan  ekonomi dasar, yang merupakan  landasan  munculnya tempat ide, politik dan kebudayaan. Materialisme historis juga  berwatak  dialektis karena melihat sejarah  sebagai  proses perubahan  dan perkembangan. Dalam mempelajari materialisme  historis,  kita akan melihat bagaimana filsafat  Marxis  menyediakan bukan  hanya  pemahaman  tentang masa lalu, tapi  juga  arah  dan tuntunan  bagi masa depan. Secara khusus,  materialisme  historis Marxis memungkinkan kita menemukan landasan eksploitasi kaptialis dan menunjuk jalan bagi pembangunan sosialisme .Ini adalah unsur-unsur dari filsafat Marxis-Leninis.

No comments:

Post a Comment